Materi pembelajaran
Hari Selasa tanggal 19 mei 2020
Untuk kelas 7A, 7B, 7C, dan 7D
Teladan Zaid bin
Tsabit Al-Anshari Radhiyallahu ‘Anhu
Kita kembali ke tahun kedua hijriyah.
Ketika itu Madinah sedang sibuk menyiapkan suatu angkatan perang untuk
menghadapi perang Badar. Rasulullah melakukan pemeriksaan terakhir terhadap
tentara muslimin yang pertama-tama dibentuk, dan segera akan diberangkatkan ke
medan jihad di bawah komando beliau, untuk melestarikan kalimat Allah di muka
bumi.
Ketika Rasulullah sedang sibuk-sibuknya, tiba-tiba seorang laki-laki
berusia kurang dari tiga belas tahun datang menghadap beliau. Anak itu
kelihatan cerdas, terampil, hemat, cermat, dan teliti. Di tangannya tergenggam
sebilah pedang, yang panjangnya melebihi badan anak itu. Dia berjalan tanpa
ragu-ragu dan tanpa takut melewati barisan demi barisan menuju Rasulullah SAW.
Setelah dekat kepada beliau dia berkata, “Saya bersedia mati untuk Anda, wahai
Rasulullah! Izinkanlah saya pergi jihad bersama Anda, memerangi musuh-musuh
Allah di bawah panji-panji Anda.”
Rasulullah
menengok kepada anak itu dengan pandangan gembira dan takjub. Beliau
menepuk-nepuk pundak anak itu tanda kasih dan simpati. Tetapi beliau menolak
permintaan anak itu, karena usianya masih sangat muda.
Anak itu pulang kembali membawa pedangnya tergesek-gesek menyentuh tanah.
Dia sedih dan kecewa permintaannya untuk menyertai Rasulullah dalam peperangan
pertama yang akan dihadapi beliau, ternyata ditolaknya.
Ibu anak itu,
Nuwar binti Malik, yang sejak tadi mengikutinya dari belakang tidak kurang pula
sedihnya. Dia ingin melihat anaknya berjuang di bawah panji-panji Rasulullah,
supaya anak itu dapat kesempatan berdekatan dengan beliau seperti
diharapkannya. Dalam angan-angannya terbayang, alangkah bahagianya ayah anak
itu sekiranya dia masih hidup, melihat anaknya dapat mendekatkan diri kepada
Rasulullah SAW.
Tetapi anak
Anshar yang cerdas dan pintar ini tidak lekas putus asa. Walaupun dia tidak
berhasil mendekatkan diri kepada Rasulullah sebagai prajurit karena usianya
masih sangat muda, dia berpikir mencari jalan lain yang tidak ada hubungannya
dengan usia. Pikirannya yang tajam membukakan jalan baginya untuk selalu
berdekatan dengan Nabi yang dicintainya. Jalan itu ialah bidang ilmu dan
hafalan.
Anak itu
menyampaikan buah pikirannya kepada ibu. Sang ibu menyambut gembira buah
pikiran anaknya, dan segera merintis jalan untuk mewujudkannya.
Nuwar memberi
tahu beberapa orang famili tentang keinginan dan bidang yang akan ditempuh
anaknya. Mereka setuju lalu pergi menemui Rasulullah.
Kata mereka,
“Wahai Rasulullah! Ini anak kami, Zaid bin Tsabit. Dia hafal tujuh belas surat
dari kitab Al-Qur’an. Bacaannya betul, sesuai dengan yang diturunkan Allah
kepada Anda. Di samping itu dia pandai pula baca tulis Arab. Tulisannya indah
dan bacaannya lancar. Dia ingin berbakti kepada Anda dengan keterampilan yang
ada padanya, dan ingin pula mendampingi Anda selalu. Jika Anda menghendaki,
silakan mendengarkan bacaannya.
Rasulullah
mendengarkan Zaid bin Tsabit membaca sebagian ayat-ayat Al-Qur’an yang teah
dihafalnya. Bacannya ternyata memang bagus, betul, dan fasih. Kalimat-kalimat
Al-Qur’an bagaikan berkelap-kelip di bibirnya seperti bintang-gemintang di
permukaan langit. Bacaannya menimbulkan pengaruh dan berkesan. Waqaf-waqaf
dilaluinya dengan tepat, menunjukkan dia paham dan mengerti dengan baik apa
yang dibacanya.
Rasulullah
gembira karena apa yang dilihat dan didengarnya mengenai Zaib bin Tsabit,
ternyata melebihi apa yang dikatakan orang yang mengantarnya. Terlebih lagi,
Zait bin Tsabit pandai menuli dan membaca. Rasulullah menoleh kepada Zaid
seraya berkata, “Hai Zaid! Pelajarilah baca tulis bahasa Yahudi (Ibrani). Saya
sangat tidak percaya kepada mereka (Yahudi), bila saya diktekan sebagai
sekretaris saya.”
Jawab Zaid,
“Saya siap, ya Rasulullah!” Zaid belajar baca tulis bahasa Ibrani dengan tekun.
Berkat otaknya yang cemerlang, maka dalam tempo singkat dia telah menguasai
bahasa tersebut dengan baik, berbicara, membaca, dan menulis. Apabila
Rasulullah hendak menulis surat kepada orang-orang Yahudi, Zaid bin Tsabit
dipanggil beliau menjadi sekretaris. Bila beliau menerima surat dari Yahudi,
Zaid pula yang disuruh membacakan surat itu kepada beliau.
Kemudian Zaid
disuruh pula belajar baca tulis bahasa Suryani. Zaid berhasil menguasai bahasa
itu dalam tempo singkat, berbicara, membaca, dan menulis, seperti penguasaannya
terhadap bahasa Yahudi. Dan sejak saat itu, Zaid yang masih muda remaja itu
dijadikan beliau sebagai penerjemah bagi beliau untuk kedua bahasa tersebut.
Setelah
Rasulullah sungguh-sungguh yakin dengan ketrampilan Zaid, kesetiaan,
ketelitian, dan pemahamannya, barulah beliau menugaskannya menulis risalah
langit (al-Qur’an). Maka jadilah dia penulis wahyu. Bila ayat-ayat/wahyu turun,
Rasulullah memanggil Zaid, lalu dibacakannya kepada Zaid dan disuruh tulis.
Karena itu Zaid bin Tsabit menulis Al-Qur’an didiktekan langsung oleh
Rasulullah secara bertahap sesuai dengan turunnya ayat.
Zaid
menuliskannya langsung dari mulut Rasulullah SAW, segera setelah ayat turun.
Dengan petunjuk beliau, Zaid menyambungkan kepada ayat-ayat sebelumnya yang
berhubungan.
Tidak salah
lagi kalau pribadi Zaid cemerlang oleh sinar petunjuk Al-Qur’an, dan pikirannya
gemerlapan dengan rahasia-rahasiasyariat Islam, sementara dia mengkhususkan
diri dengan Al-Qur’an. Dia menjadi orang pertama tempat umat Islam bertanya
tentang Al-Qur’an sesudah Rasulullah wafat. Dia menjadi ketua tim yang
ditugaskan menghimpun Al-Qur’an pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shidiq.
Kemudian dia pula yang menjadi ketua tim penyusun mushaf di zaman pemerintahan
Utsman bin Affan.
Kedudukan
apakah lagi yang lebih tinggi dari itu? Masih adakah kemuliaan yang lebih
tinggi dari kemuliaan seperti itu yang hendak dicapai seseorang?
Diantara
keutamaan yang dilimpahkan Al-Qur’an terhadap Zaid bin Tsabit, dia pernah
memberikan jalan keluar dari jalan buntu yang membingungkan orang-orang pandai
pada hari Saqifah. Kaum muslimin berbeda pendapat tentang pengganti (khalifah)
Rasulullah sesudah beliau wafat. Kaum muhajirin berkata, “Pihak kamilah yang
lebih pantas.” Kata sebagian yang lain “Pihak kami dan kalian sama-sama berhak.
Kalau Rasulullah mengangkat seseorang dari kalian untuk suatu urusan, maka
beliau mengangkat pula seorang dari pihak kami untuk menyertainya.” Karena
perbedaan pendapat, hampir saja terjadi bencana di kalangan kaum muslimin
ketika itu. Padahal jenazah Rasulullah masih terbaring, belum dimakamkan.
Hanya
kalimat-kalimat mutiara yang gemerlapan dengan sinar Al-Qur’an yang sanggup
mengubur bencana itu, dan menyinari jalan keluar dari jalan buntu.
Kalimat-kalimat tersebut keluar dari mulut Zaid bin Tsabit Al-Anshari. Dia
berucap di hadapan kaumnya orang-orang Anshar.
Katanya,
“Wahai kaum Anshar! Sesungguhnya Rasulullah SAW adalah orang Muhajirin. Karena
itu sepantasnyalah penggantinya or Muhajirin pula. Kita adalah
pembantu-pembantu (Anshar) Rasulullah. Maka sepantasnya pulalah kita menjadi
pembantu bagi pengganti (khalifah)nya, sesudah beliau wafat dan memperkuat
kedudukan khalifah dalam menegakkan agama.”
Sesudah
berucap begitu, Zaid bin Tsabit mengulurkan tangannya kepada Abu Bakar
Ash-Shidiq seraya berkata, “Inilah Khalifah kalian! Baiatlah kalian kepadanya!”
Keunggulan
dan kedalaman pengertian Zaid bin Tsabit mengenai Al-Qur’an telah mengangkatnya
menjadi penasihat kaum muslimin. Para Khalifah senantiasa bermusyawarah dengan
Zaid dalam perkara-perkara sulit, dan masyarakat umum selalu minta fatwa beliau
tentang hal-hal yang musykil. Terutama tentang hukum warisan; karena belum ada
diantara kaum muslimin ketika itu yang lebih mahir membagi warisan selain dari
pada Zaid.
Umar bin
Khatab pernah berpidato pada hari Jabriyah, katanya: “Hai, manusia! Siapa yang
ingin bertanya tentang Al-Qur’an, datanglah kepada Zaid bin Tsabit. Siapa yang
hendak bertanya tentang fiqih tanyalah kepada Muadz bin Jabal. Dan siapa yang
hendak bertanya tentang harta kekayaan, datanglah kepada saya. Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla telah menjadikan saya penguasa, Allah jualah yang
memberinya.”
Para pencari
ilmu (mahasiswa) yang terdiri dari para sahabat dan tabiin, mengerti benar
ketinggian ilmu Zaid bin Tsabit. Karena itu mereka sangat hormat dan
memuliakannya, mengingat ilmu yang bersarang di dadanya ialah ilmu Al-Qur’an.
Seorang
sahabat lautan ilmu pula, yaitu Abdullah bin Abbas, pernah melihat Zaid bin
Tsabit direpotkan hewan yang sedang dekendarainya. Lalu Abdullah berdiri di
hadapan kendaraan itu dan memegang talinya supaya tenang. Kata Zaid bin Tsabit
kepada Abdullah bin Abbas, “Biarkan saja hewan itu, wahai anak paman
Rasulullah!”
Jawab Ibnu
Abbas, “Beginilah kami diperintahkan Rasulullah menghormati ulama kami.”
Kata Zaid,
“Coba perlihatkan tangan Anda kepada saya!”
Ibnu Abbas
mengulurkan tangannya kepada Zaid. Zaid bin Tsabit memegang tangan Ibnu Abbas
lalu menciumnya. Kata Zaid, “Begitulah caranya kami diperintahkan Rasulullah
SAW menghormati keluarga Nabi kami.”
Tatkala Zaid
bin Tsabit berpulang ke rahmatullah, kaum muslimin menangis karena pelita ilmu
yang menyala telah padam.
Berkata Abu
Hurairah, “Telah meninggal samudra ilmu umat ini. Semoga Allah menggantinya
dengan Ibnu Abbas.”
Penyair
Rasulullah, Hasan bin Tsabit, menangisi Zaid bin Tsabit dan dirinya sendiri
dengan seuntai sajak yang indah:
Siapakah lagi merangkai sajak sesudah Hasan dan anaknya
Manakah lagi menara ilmu sesudah Zaid bin Tsabit?
Siapakah lagi merangkai sajak sesudah Hasan dan anaknya
Manakah lagi menara ilmu sesudah Zaid bin Tsabit?
Semoga Allah senantiasa
melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada almarhum. Amin!
[sumber: Kepahlawanan Generasi Shahabat Rasulullah SAW]
[sumber: Kepahlawanan Generasi Shahabat Rasulullah SAW]
Komentar
Posting Komentar